Teruntuk Kami yang Harus Tahu Kesederhanaan Para Tokoh Indonesia

Pendiri bangsa Republik Indonesia, Soekarno-Hatta. (Foto: Isitmewa)


Kaum millennial saat ini identik dengan 'Me Generation’ yang narsis, tak peduli apapun selain diri sendiri. Lantas adakah mereka yang masih gemar membaca sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan belajar dari para pahlawan?

Well, sebagai generasi yang merajai usia produksi sekaligus sebagai konsumen terbesar di era modern. Milenial harusnya mampu membuktikan diri, dengan terlepas dari ketergantungan orang tua, gawai, kutu loncat, suka bermalas-malasan, dan konsumtif.

Kini Indonesia telah merdeka selama 74 tahun, harapannya semangat para pahlawan terus mengalir dalam darah para pemuda. Sebab, perjuangan sebelumnya, membutuhkan tekad dan semangat luar biasa.

Memang bukan saatnya untuk berleha-leha, sementara keadaan begitu cepat berubah. Sebaiknya, untuk bisa maju, para kaum milenial mengetahui kisah para pahlawan di Republik ini, dimana mereka mampu hidup sederhana, penuh perjuangan dan memiliki mental kuat.

Siapa saja tokoh-tokoh nasional yang harus diketahui para kuam milenial? berikut adalah 5 pribadi tokoh bangsa Indonesia yang bisa jadi pelajaran kaum milenial berdasarkan buku karya Agus Nur Cahyo, Kebiasaan Sehari-hari Para Guru Bangsa.


Bung Karno. (Foto: Merahputih.com)

1. Soekarno

Soekarno atau biasa dipanggil Bung Karno lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 6 Juni 1901. Ia dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Mohammad Hatta.

Bung Karno kerap diasingkan oleh Belanda, dari dimasukan penjara Sukamismin, kemudian di Flores hingga Bengkulu.

Ketika Jepang tunduk kepada Sekutu, Soekarno bersama tokoh nasional lain mulai mempersiapkan diri menjelang proklamasi kemerdekaan RI. Adapun langkahnya yakni membentuk sidang BPUPKI yang terdiri dari delapan orang, hingga akhirnya 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Teks proklamasi secara langsung dibacakan oleh Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kemudian pada 18 Agustus Soekarno dan Hatta diangkat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi presiden dan wakil presiden RI.

Perintah Pertama Soekarno sebagai Presiden

Dalam sidang PPKI yang bertempat di Road van Indie di Jalan Pejambon itu tak ada debat sengit atau perdebatan hebat soal jatuhnya pilihan kepada Soekarno dan Hatta. Berbeda jauh dengan kondisi saat ini yang kerap melakukan manuver politik dengan melemparkan isu ujaran kebencian.

Kembali ke sidang, ada percakapan yang terjadi dalam memutuskan hasil. "Nah, kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?,"

"Baiklah," jawab Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adam, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno pada 2007.

Soekarno pun terpilih sebagai presiden. Kemudian ia pulang dengan berjalan kaki karena kala itu belum disediakan mobil keperesidenan. Di jalan, Bung Karno bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima.

Bung Karno pun memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dengan mengeluarkan perintah. "Sate ayam 50 tusuk," ujar sang Proklamator.

Saat pesanannya datang, ia kemudian berjongkok di pinggir got dekat tempat sampah dan menghabiskan sate ayam dengan lahap. Ini merupakan salah satu kesederhaan yang dimiliki Soekarno.


Miliki Keseharian yang Sederhana

Kebiasaan sehari-hari bung Karno begitu luar biasa. Sebagai pemimpin, ia dikenal sederhana. Seperti mulai dari kebiasaan makan yang tak pernah memakai sendok dan garpu, meski sedang makan di istana. Kebiasaan ini terlahir sejak dulu, terutama jika makan bersama keluarga.

Nasi hanya satu mangkok kecil dan yang paling digemari adalah sayur lodeh, sayur asam, telur mata sapi, ikan asin goreng dan sambal. Menu ini layaknya sajian rakyat biasa. Selain itu, Bung juga suka kopi tubruk, sayur daun singkong, sawo dan pisang.

Sarapan Bung Karno tempe goreng, atau roti bakar dan dua buah sendok teh madu tawon serta telur ayam mata sapi. Usai makan, ia selalu merokok satu batang States Express ("555").

Soekarno merupakan orang yang begitu teliti dalam berpakaian, untuk sehari-hari pakaiannya sederhana. Misal ada yang robek, makan ia akan menyuruh seseorang menjahitnya dan memakainya kembali.

Begitu juga dengan sandal, Soekarno lebih senang memakai yang sudah lama dipakai. Alasannya, kursi rotan lama akan mengikuti bentuk tubuh pemakainya sehingga lebih enak diduduki.


Mohammad Hatta. (Foto: Istimewa)
 
2. Mohammad Hatta

Nama ini tidak asing di telinga kita, sebagai wakil presiden pertama Hatta merupakan pejuang kemerdekaan RI yang selalu disandingkan bersama Soekarno. Tak hanya, itu, pria kelahiran 12 Agustus 1902 di Bukittinggi ini dikenal sebagai organisator, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, dan pelopor koperasi.

Kiprah Hatta di bidang politik dimulai saat dirinya terpilih menjadi Jong Sumatranen Bond wilayah Padang pada 1916. Secara keberlanjutan, hingga 1921, ia menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebua perkumpulan pelajar Tanah Air bernama Indische Vereeniging.

Sama halnya seperti Soekarno, Hatta juga pernah menjalani pengasingan ketika kembali ke Indonesia. Kala itu dirinya bergabung dengan Club Pendidikan Nasional Indonesia, namun karena protes Hatta kepada Belanda membuat dirinya diasingkan di Digul, Papua.

Saat diasingkan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang dibawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya.


Cinta kepada Buku

Di antara para pendiri bangsa Indonesia, Mohammad Hatta merupakan sosok yang mencintai buku. Tercatat, ada empat kekasihnya, yaitu Indonesia, Rakyat Indonesia, buku dan Rahmi Hatta.

Khusus buku, Hatta memiliki koneksi istimewa dengan benda satu ini. Hari-harinya selalu dilewati dengan buku, praktis itu adalah cara menghibur diri dan perhatiannya. Dalam sehari, Hatta menghabiskan waktu dengan buku antara 6 hingga 8 jam.


Kembalikan Dana Taktis Wapres

Hatta bukan orang kaya. Gajinya sebagai wakil presiden selalu dihabiskan untuk membeli buku. Ia tak pernah mengambil uang yang bukan haknya.

Suatu ketika, Hatta pernah menyuruh asistennya untuk mengembalikan dana taktis wapres sebesar Rp25 ribu. Padahal, jika tidak dikembalikan, dana taktis pun tidak menjadi masalah dan tak perlu dipertanggungjawabkan. Namun, Hatta orang jujur yang memiliki kehormatan. (Merdeka.com, Titis Widyatmoko dalam tulisannya 6 Teladan kesederhanaan Pahlawan Nasional Bung Hatta).


Tak Mampu Beli Sepatu Bally

Zaman sekarang, kaum milenial bisa saja mendapatkan sepatu dengan cara mudah lewat transaksi online, jika tak memiliki dana bisa melakukan pinjaman online. Tentu ini adalah cara mudah. Berbeda dengan Hatta, yang kala itu begitu berhasrat ingin memiliki sepatu Bally, sekira tahun 1950-an, Bally merupakan merek sepatu bermutu tinggi dan tak murah.

Hatta pun menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally, ia berusaha menabung agar dapat membeli sepatu idaman. Sayangnya, uang tabungan tidak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally karena keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat yang datang meminta. Guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan Hatta.

Sebenarnya, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangat mudah bagi Hatta untuk mendapatkan sepatu Bally. Misalnya meminta bantuan kepada duta besar atau pengusaha yang jadi kenalannya. Akan tetapi, itu bukan kebiasaan Hatta. Justru ia mengumpulkan uang meskipun pada kahirnya tidak dapat memiliki sepatu.

Yap, Hatta memilih jalan sulit dan lama untuk lebih mendahulukan orang lain. Patut jadi contoh bagi para kaum milenial.

Siauw Giok Tjhan. (Foto: Berdikari online)

 
 3. Siauw Giok Tjhan

Siauw Giok Tjhan merupakan politikus, pejuang dan tokoh gerekan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionhoa- Indonesia. Ia lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur pada 23 Maret 1914.

Ia pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP-KNIP, anggota DPR hasil pemilu 1955. Salah satu warisannya adalah Universitas Res Publica yang didirikan Baperki. Kemudian Soeharto mengubah kampus tersebut menjadi Universitas Trisakti.

Sejak kecil, Siauw memiliki watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpanya dan kelompok etnis. Kala itu, ejekan 'Cina Oleng' sering dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa. Lantas dengan kemahirannya dalam kung fu yang dipelajari dari kakeknya, Siauw berkelahi dengan anak Belanda, Indo dan Ambon yang mengejeknya.

Selanjutnya, Siauw semakin memahami pentingnya hidup berdampingan secara damai sebagai sesama warga Indonesia. Keyakinannya berpijak pada semboyan yang dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui harian Matahari di Semarang, 1933-1934."Lahir di Indonesia, besar di Indonesia, menjadi putra-putri Indonesia,".

Praktis Siauw berjuang menjadi putra terbaik Indonesia. Menurutnya, ras Indonesia tidak ada, yang ada adalah 'nasion' Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa. Kecintaan seseorang terhadap Indonesia, tidak dapat diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya. Konsep ini kemudian diterima oleh Soekarno pada 1963.

Baca juga: I Proud to be Indonesian

Hidup Sederhana

Selama hidupnya, Siauw menentang diskriminasi. Berbekal keahlian kung fu dari kakeknya, ia menggunakannya untuk memperjuangkan keadilan ketika tumbuh di dalam lingkungan yang keras.

Meski berasal dari bangsa Tiongkok, Siauw begitu sederhana. Terbukti dari ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas di masa kabinet Amir Syarifuddin. Sebagai negara yang belum lama merdeka, ia belum mendapatkan mobil dinas sebagaimana umumnya para pejabat sekarang.

Untuk menjalankan tugasnya saja, Siauw kerap naik andong (kereta kuda) menuju istana. Sayangnya andong tidak bisa masuk ke area istana, dirnya pun berjalan kaki dari jalanan menuju Keraton Yogyakarta.

Selama itu juga, para pejabat tak belum memiliki rumah dinas, mereka dipersilahkan tinggal di Hotel Merdeka. Namun, demi menghemat, Siauw memilih tinggal di gedung Kementerian Negara di jalan Jetis, Yogyakarta, kendati dirinya tidurnya di atas meja tulis.


Boikot tim Sepakbola

Sejak bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Siauw tetap konsisten dan tegas mendukung Indonesia Merdeka.  Partainya berhubungan dengan tokoh pergerakan, sebut saja, Mohammad Hatta, Dr. Sutomo, Sjahrir.

Di bidang olahraga, sikap nasionalisme Siauw terlihat. Dirinya terlibat dalam pemboikotan Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB), organisasi sepakbola yang didominasi orang Belanda.

Kala itu NIVB akan menggelar pertandingan sepakbola di Surabaya. Namun, Siauw menilai hal ini lebih menguntungkan kaum penjajah. Karenanya, ia memimpin gerakan untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi. Di lokasi itu berlangsung laga yang dimainkan oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).


Johannes Latuharhary. (Foto: Merdeka.com)


4. Johannes Latuharhary

Johannes 'Nani' Latuharhary merupakan salah satu perintis kemerdekaan. Pria kelahiran Ulath, Saparua, Maluku Tengah, Maluku, pada 6 Juli 1900. Johannes merupakan putra daerah Maluku pertama yang meraih gelarMeester in de Rechten di Universitas Leiden.

Sepulang dari Eropa, ia bekerja sebagai hakim kemudian menjadi ketua pengadilan negeri di Surabaya selama Desember 1927- Maret 1929. Johannes juga menjadi pemimpin umum media Sarekat Ambon, Haloean.

Saat pembentukan BPUPKI dan PPKI, Johannes menjadi anggota yang mewakili wilayak kepulauan Maluku. Ia pun hadir dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda.

Setelah pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dapat ditumpas pada 1950. Johannes dan stafnya menuju Ambon untuk memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Pada akhir 1954, dirinya menyerahkan jabatan Gubernur kepada penggantinya untuk memangku tugas baru di Jakarta sebagai Kementerian Dalam Negeri.


Mendukung Pluralisme

Johannes Latuharhary menyampaikan keberatan menyangkut anak kalimat di Undang-undang Dasar, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Pada rapat PPKI Agustus 1945, ia menolak istilah 'mangkubumen' yang diusulkan Soekarno sebagai sebutan pemerintahan daerah. Selain istilah itu dianggap berbau Jawa, istilah yang lazim dipakai yaitu 'gubernemen' atau provinsi.


Di Akhir Hayatnya Tak Mampu Bayar Rumah Sakit

Johannes dikenal memiliki sikap hidup yang sederhana. Dalam sebuah berita Merdeka.com tulisan Yacob Biliocta, mengisahkan pada awal November 1959 saat berangkat ke gereja, Johannes terjatuh pingsan. Ia dibawa ke Rumah Sakit St. Carolus dan dirawat selama dua hari. Sayang, nyawanya tak mampu diselamatkan dan dirinya tak dapat membayar biaya rumah sakit, dimana dirinya hanya dirawat di barak rakyat dalam keadaan koma.

Keadaan ini begitu kontras dengan beberapa pejabat tinggi saat ini, seharusnya Johannes mendapatkan perawatan yang lebih layak. Kejadian ini menjadi beban berat bagi istrinya, Henriette dan tujuh anaknya. Johannes tidak meninggalkan banyak kekayaan dan juga rumah untuk diwariskan. Baginya, perjuangan untuk bangsa dan negara lebih dari sekadar materi.


Gus Dur. (Foto: Istimewa)

5. Abdurrahman Wahid

Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau biasa disebut Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940. Ia anak dari keluarga cukup terhormat, Ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim, merupakan sosok yang terlibat dalam gerakan nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949.


Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar pada 1963. Pihak Universitas memberitahu Gus Dur agar mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar Islam. Kendati mahir berbahasa Arab, ia tidak menunjukkan hal itu sehingga terpaksa mengambil remedial.

Di Mesir Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Bersamaan dengan itu, terjadi peristiwa Gerakan 30 September, upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menanganinya yaitu Mayor Jenderal Soeharto. Sebagai bagian dari upaya itu, Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi ke pelajar universitas. Akibatnya ia mengalami kegagalan di Mesir.

Tak patah semangat, Gus Dur pun mengulang pendidikannya di Universitas Baghdad, Irak. Pada 1970, ia pun akhirnya menyelesaikan study, meski sebelumnya sempat lalai.


Menjadi Jurnalis dan Jadi Pedagang

Gus Dur sempat menjadi jurnalis di Majalah Tempo dan koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik, ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.

Meski kariernya cukup sukses, Gus Dur masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja untuk memperoleh pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es.

Beberapa tahun kemudian karier Gus Dur semakin cemerlang. Ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng (1974-1980), kemudian naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU (1984), Ketua Majelis Ulama Indonesia (1987), anggota MPR RI (1989) DAN PADA 1999-2001 menjabat sebagai presiden RI.


Hidup Sederhana


Gus Dur begitu lekat dengan sebuah kesederhanaan, terlihat dari kebiasaan di rumahnya. Ketika tamu sudah pulang dan malam, ia tidak langsung masuk ke kamar untuk istirahat. Dirinya justru lebih suka tidur di ruang depan.

Ahmad Tohari pernah bercerita, ketika Gus Dur mampir ke rumahnya untuk bermalam. Gus Dur memilih untuk tidur di lantai yang hanya beralaskan karpet. Bahkan ajudan mantan presiden keempat itu bercerita sewaktu bepergian dengan kereta dan ingin tidur, Gus Dur menyuruh ajudannya untuk menggelar koran di bawah.

"Tapi kotor pak," tanyanya.

"Biar saja. Ini kan sudah biasa dilakukan penumpang," ucap Gus Dur merujuk kebanyakan penumpang yang tidak mendapat tempat duduk.


Suka Menggunakan Batik

Kesederhanaan menjadi salah satu hal penting yang diwariskan Gus Dur, terutama dalam berbusana. Ia selama hidup selalu mengenakan batik yang merupakan warisan budaya nusantara.

Seperti diberitakan Tempo, 2010, menurut salah satu putrinya, Inayah Wulandari, Gus Dur mengenakan batik bukan karena latah, ikut tren, atau karena sebagai pejabat publik. Sebab, sejak awal 1990-an, Ayahnya pecinta batik. Batik yang dikenakan juga selalu menjadi pilihan sang Istri, Sinta Nuriyah.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Kota Kelahiran

Memaknai Ramadhan dari Kampung Halaman (Momen Pemersatu)

Mengubah Iphone 3G menjadi ios 6